Dalam suasana Iedul Adhha tahun 1436 H ini, terlepas dari beberapa kejadian yang patut menjadi kekhawatiran publik seperti musibah di Makkah dan juga kabut asap akibat pembakaran lahan, seperti pada tahun-tahun sebelumnya agenda utama bagi muslim di Nusantara setelah sholat Ied adalah “nyate” beramai-ramai.
Sate adalah barbeque khas Indonesia, yang penyajiannya berbeda dengan barbeque pada umumnya di dunia. Daging dipotong kecil-kecil dan ditusukkan pada lidi untuk kemudian dilumuri bumbu dan dibakar.
Nah, pada momen Iedul Adhha inilah, muncul banyak “tukang sate amatir” di setiap keluarga penerima daging qurban. As info aja, penerima daging qurban tidak hanya masyarakat kurang mampu ya, si pemberi qurban dan warga lainnya pun kebagian lho.
Alhasil, komplek perumahan sempit seperti di tempat tinggal saya pun kena “kabut asap”. Yang patut diperhatikan juga selain dampak lingkungannya adalah, kualitas sate yang dihasilkan pun bervariasi, bahkan tak jarang gagal, entah itu terlalu gosong, bumbu tidak meresap, dan lain sebagainya.
Saya selalu membayangkan, bagaimana perasaan tukang sate yang sesungguhnya pada fenomena ini???

Semua Ada Ilmunya
Dari cerita tadi, saya jadi teringat salah satu petuah bisnis yang seringkali kita dengar; semua ada ilmunya, bahkan untuk menjadi tukang sate sekalipun ada ilmu yang harus dikuasai meski tak diajarkan di pendidikan tinggi.
Mulai dari persiapan perapian, teknik mengayunkan kipas agar yang matang hanya daging dan bukan si pengipasnya juga, sampai bagaimana membuat bumbu dan memastikannya meresap oleh proses pemanggangan.
Kalau tukang sate amatiran saja harus belajar ilmu untuk membuat sate, bagaimana tukang sate sungguhan dalam belajar ilmu berbisnis sate, bagaimana dengan para startup harus belajar tentang ilmu bisnis yang digelutinya? Semua juga ada ilmunya, dan semua ilmu harus dipelajari dengan kesungguhan hati dan keuletan.
Bagaimana agar belajar sesuatu itu menjadi lebih terasa ringan? Mulai dengan passion, pastikan kamu belajar sesuatu yang untuknya kamu mampu menghabiskan waktu tanpa keluhan dan bahkan membahagiakan. Saya ingat dulu waktu belajar bermain gitar, setiap hari fingering, dengan jari yang diikat karet gelang, berat dan hasilnya jari kapalan. Tapi karena saya butuh bisa dan menyukainya, maka semuanya terasa ringan. Bahkan, passion adalah sesuatu yang kamu rela melakukannya secara cuma-cuma !!!
Tak Perlu Semua Ahli, Yang Penting Manfaatnya
Kalau semua hal ingin dipelajari, pasti tidak jadi ahli. Atau, kalau semua orang belajar hal yang sama, sudah barang tentu tidak semua (serta-merta) menjadi ahli. Benar tidak? Kalaupun iya, ya tidak apa-apa. Memahami sesuatu tidak selalu identik menjadi ahli di bidang itu, meskipun itu pencapaian idealnya. Tapi dalam bisnis, terlebih seorang CEO, apa harus jadi ahli?
Seorang Steve Jobs menjadikan Apple besar bukan karena dia ahli IT. Chairul Tanjung pemilik Trans Corp adalah seorang dokter gigi. Bahkan, Jack Ma pendiri Alibaba adalah seorang guru bahasa Inggris?!
Kami di IDpreneurs mempercayai, bahwa orang/kelompok/bisnis/institusi/negara sekalipun, yang lebih baik adalah yang mampu memberi lebih banyak manfaat kepada sesama. Dari sinilah kami senantiasa merumuskan setiap langkah dan tujuan.
Pun, dalam belajar bisnis, menurut kami tidak terlalu penting menjadi ahli. Yang jauh lebih penting adalah kebermanfaatan atas pengetahuan kita tersebut. Sudah terlalu banyak kita disuguhkan contoh bahwa dunia bisnis tak seluas selembar ijazah.
Silahkan saja amati orang-orang di sekitar anda, berapa banyak orang yang aktivitas usahanya relevan dengan keahlian yang diperolehnya di bangku kuliah.
Jadi…
Kembali ke tukang sate amatir, dia tentu tidak perlu jadi ahli, karena memang tujuan dia belajar hanya untuk bisa mengolah daging pembagian qurban agar tidak mubadzir. Begitu juga kita dalam berbisnis, pastikan kita kuasai penuh keahlian di core business kita, selebihnya mantapkan pemahaman atas hal lain dengan relevansi terhadap bisnis dan lingkungan kita tentunya.
Jadi, sudah siap untuk kembali “nyate”???
Mari Teleportasikan Manfaatnya.