Nah loh, masa karyawan nggak boleh lelah? Lama nggak posting malah bikin kontroversi nih, hehehe.
Tenang, dijamin ini bukan tulisan racun koq, kalo dosisnya tepat, hehehe.
Lelah Fisik vs Lelah Fikir
Dalam setiap aktivitas, selalu dibutuhkan daya untuk mengerjakannya. Demikian juga aktivitas bekerja, dibutuhkan daya baik itu fisik maupun fikir. Dalam kondisi terbatasnya sumber daya tersebut, sangat dimungkinkan adanya kondisi dimana daya yang diberikan sudah mencapai batas maksimal sehingga menimbulkan kelelahan.
Lelah fisik, biasanya ditandai dengan melemahnya otot sebagai sumbu pergerakan badan. Dalam kasus lelah yang ini, istirahat yang cukup dan asupan gizi yang memadai mampu mengembalikan kondisi tubuh menjadi prima dan siap melakukan aktivitas selanjutnya.
Lelah fikir, biasanya ditandai dengan melemahnya otak untuk memproses setiap informasi, yang ujungnya membawa kita dalam kondisi stress. Dalam kondisi ini, istirahat dan asupan gizi saja tidaklah cukup, refershing harus ditambahkan dalam rangka pengobatannya. Itu pun, harus sesuai dengan kebutuhan si penderita. Karena meski dengan lelah fikir yang sama, setiap orang memiliki hasrat untuk refreshing yang berbeda-beda.
Bagaimana dengan lelah hati? Itu tidak dibahas disini, hehehe.
Lelahnya Pekerja
Sudah jamak diketahui bahwa bagi karyawan, bekerja adalah sebuah keharusan. Tapi, bagaimana kalau kewajiban tersebut kemudian membenani di satu titik perjalanan karier mereka? Kebanyakan secara singkat memutuskan untuk resign. Kenapa? karena pangkalnya pola pikir kewajiban ini harus ada pembanding yang setara berbentuk hak. Ketika seorang karyawan merasa haknya sudah terasa lebih kecil dari besarnya kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka satu-satunya cara praktis bagi mereka untuk menyelesaikan ketidakseimbangan ini adalah resign dan mencari tempat kerja atau aktivitas kerja lainnya yang memberikan keseimbangan baru, syukur kalo bisa memberikan hak lebih dengan kewajiban yang relatif sama.
Nah, bagaimana dengan pihak pemberi kerja? Sederhana saja, pemberi kerja akan bisa mendapatkan pengganti dalam waktu tertentu, syukur dengan kualifikasi lebih baik namun dengan rate yang relatif sama. Keseimbangan baru pun terjadi di kantor tersebut.
Faktanya, apakah sesederhana itu? Jelas tidak. Bagi para pekerja, keseimbangan tidak melulu menyangkut nominal dan beban kerja. Kenyamanan, tanggungan keluarga, jenjang karier, dan bahkan perihal personal lainnya menjadi pemberat untuk sebuah keputusan resign. Belum lagi ketersediaan lapangan pekerjaan di luar yang bisa jadi menyulitkannya beberapa saat sampai dengan diperolehnya pekerjaan baru. Demikian juga dengan pemberi kerja, keseimbangan tidak hanya perihal tarif gaji dan fungsi kerja operasional. Karakter karyawan, sinergitas dengan anggota organisasi lainnya, dan kesesuaian visi – misi perusahaan, menjadikan tidak mudah bagi perusahaan mendapatkan pengganti, terlebih untuk level managerial. Belum lagi, di jaman dimana bertaburan para pelamar kerja saat ini pun, tidak mudah didapati kandidat dengan kualifikasi sesuai kebutuhan perusahaan.
Disinilah seharusnya dapat ditemukan solusi lain.
Karyawan vs Partner
Utamanya bagi kita startup, harus lebih jeli mempertimbangkan untuk merekrut karyawan, atau partner. Perbedaannya ? Jelas sekali, karyawan berhenti pada pola pikir hak dan kewajiban sebagaimana disampaikan di awal, sedangkan partner adalah pihak atau personal yang kita libatkan dalam pengembangan perusahaan. Poinnya disini, prinsip rasa memiliki yang lebih terjamin untuk diperoleh dari seorang partner daripada seorang karyawan.
Tentu, tidak semua orang karyawan bisa menjadi partner, atau sebaliknya, tidak semua partner bisa menjadi karyawan. Hal ini tidak berhenti pada penyebutan frasa di dalam kontrak kerja, namun juga dalam hubungan operasional keseharian kedua pihak tersebut. Seorang owner, terlebih CEO dari sebuah startup, akan lebih baik jika mampu berkomunikasi kepada seorang karyawan sekalipun, layaknya sedang berkomunikasi dengan seorang partner. Karena, tentu berbeda antara apa yang dimaui oleh seorang karyawan dan apa yang dimaui oleh seorang partner.
Titik Lelah Seorang Karyawan
Yang pertama sekali harus diidentifikasi oleh seorang pimpinan terhadap karyawannya adalah, titik dimana seorang karyawan merasakan bahwa tidak lagi seimbang antara hak yang diberikan dan kewajiban yang dibebankan oleh perusahaan kepada pekerja. Kalimat sederhana itu, jelas sangat njelimet dalam praktiknya. Tapi, sangat bisa diantisipasi dengan pola komunikasi partner sebagaimana dibahas tadi.
Apabila dalam satu kondisi tidak dapat dihindari sebuah keadaan dimana perusahaan harus membebankan kewajiban berlebih kepada para pekerjanya, maka sangat dimungkinkan harus ada dialog antara keduanya. Mekanisme lembur menjadi solusi yang sudah lama dipraktikkan.
Bagaimana kalau kondisinya kewajiban masih sama namun kemampuan karyawan itu sendiri yang mengalami penurunan sehingga tidak bisa memenuhi tanggung jawab sebagaimana mestinya? Dialog juga harus tetap menjadi langkah awal untuk menemukan solusi lebih lanjut. Dalam kasus ini, pensiun dini menjadi opsi yang layak dipertimbangkan oleh kedua belah pihak.
Intinya adalah, jangan sampai titik lelah itu dijalani sendiri oleh karyawan tanpa tahu harus membicarakannya kepada siapa? Juga, jangan sampai perusahaan menyimpulkan sendiri kinerja seorang karyawan tanpa tahu penyebab utamanya. Jangan biarkan lelah mendasari sebuah keputusan, oleh kedua belah pihak.
Kamu punya pengalaman perihal lelah ini? Silahkan berbagi bersama kami.