Ilmu Bisnis Bukan Ilmu Hafalan

ilmu-bisnis-bukan-ilmu-hapalan

Terhitung sudah puluhan kali kami melakukan business trip ke Bumi Kartini di Jawa Tengah ini. Dari mulai awal yang sama sekali belum tau rute-nya, hingga akhirnya setelah beberapa kali kami merasa sudah hafal bahkan beberapa alternatif jalan dan resikonya terhadap waktu dan jarak tempuh. Tapi rupanya di perjalanan bisnis terakhir kemarin kami kembali diingatkan bahwa kita hanya pengendara (driver), bukan penguasa jalanan, apalagi penguasa jawa, hehehe.

Yup, dalam bisnis trip kemarin kami mengalami kemacetan justru di rute yang kami sudah anggap tercepat dan teraman. Lebih parahnya lagi, karena banting setir kanan dan kiri, akhirnya kami harus “kesasar” ke jalur lain dan mengakibatkan keterlambatan atas agenda bisnis yang ada. What ??? Sudah puluhan kali masih kesasar??? Kira-kira rasanya seperti ditoyor dari belakang dan ada yang bilang; “Eh, ngapain aja lu?” Hehehe. Tapi nggak lama justru rasanya seperti ada yang noyor balik dari depan dan bilang; “Eh, bisnis juga gitu, bukan ilmu hafalan, musti jangan berhenti belajar dan jangan merasa jumawa sudah menguasai ilmunya.” Dan, diantara toyoran dua arah itu kami putuskan untuk mengabadikannya menjadi sharing #Storyday kali ini.

Berbisnis memang seperti kata Walter Baggehot (1826-1877);

Bisnis sebenarnya adalah satu profesi yang sering mengharuskan adanya pengetahuan dan keterampilan yang cukup seperti halnya profesi di bidang hukum dan kedokteran, serta memerlukan kepemilikan uang

Hanya saja menurut kami, dinamika dalam pengetahuan bisnis sangatlah cair. Bahkan terlalu cair sehingga seorang pebisnis harus mengupdate pengetahuannya jauh lebih sering dari profesi lainnya.

Sebagai contoh, seorang pebisnis kuliner tentu tidak bisa hanya berpikir mengenai standarisasi resep. Kalau hanya demikian, maka tugasnya sebagai seorang pebisnis selesai pada saat sudah diperoleh racikan hebat untuk sebuah makanan. Namun ternyata tidak begitu ceritanya, sudah banyak kita ketahui bahwa beberapa bisnis kuliner berhenti beroperasi setelah sekian lama berjaya ketika diteruskan oleh generasi ke sekian bahkan dengan resep yang tidak mengubah satu miligram pun dari salah satu ingredients yang ada !!! Kenapa??? Mungkin, jawaban sederhanyanya adalah; konsumen berubah. Dulu mungkin tidak terpikirkan oleh seorang pebisnis kuliner bahwa pelanggan bisa tertarik dan datang hanya karena melihat foto makanan dipampang di berbagai media sosial, atau seorang pelanggan yang memiliki profesi khusus : pemburu voucher discount makanan, dan masih banyak lagi perubahan lainnya.

Keharusan untuk selalu belajar inilah yang kemudian menuntut seorang pebisnis untuk mampu “keras kepala” dalam bisnisnya. Keras kepala untuk senantiasa mempelajari sesuatu, bahkan sesuatu yang belum dilihat oleh orang kebanyakan, atau sering kita dengar sebagai visi dalam bisnis.

Kemampuan keras kepala ini juga tidak hanya untuk pebisnis yang merasa sudah behasil untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya. Keras kepala juga dibutuhkan untuk seorang pebisnis dalam mempertahankan idealisme untuk mewujudkan visi-nya, bahkan pada saat kemungkinan keberhasilan itu masih belum terlihat oleh orang lain dalam waktu dekat. Setidaknya itulah yang kami pelajari dari seorang Steve Case,co-Founder AOL. Ketika mereka mendirikan AOL sekitar 30 tahun yang lalu, hanya 3% dari penduduk Amerika yang terhubung dengan internet, dan mereka melakukan aktivitas online hanya sekitar satu jam per minggu. Kemudian setelah go public pada 1992, setelah satu dekade memulai bisnis, tetap saja pelanggan mereka kurang dari 200.000, tapi mereka tetap melanjutkannya. Dan, akhirnya di saat permintaan atas internet membludak, mereka menjadi pemimpin perusahaan internet dengan lebih dari 25 juta pelanggan, dan menjadikan AOL sebagai salah satu perusahaan paling bernilai di dunia (source: What Every Young Entrepreneur Needs to Know to Succeed). Itulah keras kepala dalam bisnis.

Perseverance isn’t easy. It means pushing against currents that can be relentless. And it means constantly having to deflect the advice of people who think you should throw in the towel. But if you want to change the world, you need to be fearless and never give up. (Steve Case)

3 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *