Bisnis itu Let it Flow

GollyGForce
GollyGForce

Banyak yang bilang bisnis itu susah, ribet, perlu perencanaan, perlu keberanian ekstra, ketersediaan modal, dan sebagainya. Yang sejatinya, itu semua hanya alasan karena keengganan, kalau tidak mau dibilang kemalasan. Yup, lawan terberat dari entrepreneur adalah malas. Karena sejatinya entrepreneurship adalah mentalitas, maka lawan yang nyata adalah mentalitas juga. Dengan satu kata malas, ‘anak cucu’ turunannya berjuta alasan untuk melakukan apapun aktivitas produktif. Dan, alasan paling klise untuk memulai usaha adalah modal.

Bisnis Tanpa Modal, Apa Mungkin?

Seorang kolega pernah bercerita pengalaman pribadinya dalam bisnis beromzet milyaran tanpa modal sepeser pun. Mau tau ceritanya?

Berawal dari perbincangan dengan teman di perusahaan oil and gas yang sedang butuh banget daya listrik untuk operasional mesin pengeborannya. Singkat kata, terbaca peluang adanya persewaan genset dengan bahan baku gas mentah. Bayangkan, bahan baku disediakan pemberi kerja, dan mereka tidak perduli bagaimana caranya yang penting ada listrik dengan wattage tertentu yang dibutuhkan oleh bor-nya. Enak bukan? Ya, kalo cuma dilihat sesederhana itu ya enak. Kalo dilihat lebih rumit ya bisa rumit juga, seperti; bagaimana dengan untung-rugi nya, bagaimana pengadaan genset-nya, dan berapa modal dibutuhkan untuk beli genset dengan spesifikasi tersebut.

Tapi yang nyata adalah bahwa tergantung dari sudut pandang. Dalam sisi ini, Sang Entrepreneur bukanlah melihat kesulitannya, tapi kemudahan dan peluangnya. Bahan baku yang sudah tersedia free of charge, jenis genset yang tidak ditentukan yang penting menghasilkan listrik, kontrak 2 (dua) tahun senilai Rp 9M yang sudah jelas tanpa saingan karena rata-rata pemain besar cenderung high cost dg genset ternama, itu semua yang terlihat. Akhirnya, disanggupilah untuk memberikan penawaran resmi dengan tenggat sebulan untuk menyiapkan segala sesuatunya.

Sang Entrepreneur kemudian menghubungi teman di bank untuk menjajaki kemungkinan pendanaan untuk investasi semacam ini. Didapatlah informasi bahwa tersedia kredit investasi dengan jaminan kontrak dan fisik mesin yang dibeli. Dicarilah genset termurah untuk penyediaan listrik tersebut di China. Sang Entrepreneur tidak perlu ke Negeri Tirai Bambu, hanya ke kedai kopi mencari Wi-Fi dan langsung terkoneksi dengan Alibaba, sebuah jembatan ke Negeri Panda. Singkat kata, disetujuilah pembelian genset senilai Rp 3M dengan pembayaran dari bank FULL !!! Ya iyalah, kontrak senilai Rp 9M gitu loh !!!?? (asal tau saja, genset sejenis bikinan Amrik / Eropa bisa seharga Rp 30M).

Akhirnya pekerjaan pun dimulai. Tentu tidak mudah, semua orang juga tahu resiko belanja barang senilai Rp 3M dengan kapasitas yang seharga Rp 30M. Setiap hari-hari di bulan pertama Sang Entrepreneur dilanda sport jantung jangan-jangan gensetnya ambrol ditengah jalan. Tapi itulah dinamikanya, dan Sang Entrepreneur tidak berhenti belajar. Di bulan kedua dia sudah mendatangkan teknisi dari kampungnya Jet Li untuk standby. Alhamdulillah, hitung punya hitung, keuntungan bersih setidaknya 30% sih dipegang di akhir proyek sewa, plus bonus seonggok genset yang setelah dikiloin pun masih bernilai ratusan juta.

Tanpa modal bukan? Kalau yang dimaksud modal uang, jelas tidak ada kecuali bayar kopi untuk Wi-Fi. Tapi modal utama adalah “kepercayaan dari jaringan”.

Bisnis Let It Flow

Bob Sadino
Bob Sadino

Almarhum Bob Sadino yang terkenal dengan ilmu goblok-nya pernah mengatakan, bisnisnya itu let it flow, tanpa perencanaan dan target tertentu. Kok bisa?

Jangan terkecoh, coba perbaiki fokus kita pada frase let-it-flow. Kebanyakan orang berfokus pada kata let yang asosiasinya kepada kepasrahan tanpa daya upaya. Tapi seorang entrepreneur harusnya bisa melihat lebih jeli, fokuskan pada flow. Artinya, bisnis itu wajib mengalir seperti air dan sungai yang mencari muara. Di setiap ada batu atau karang mereka bukannya mandeg/berhenti atau protes, tapi luwes memperbaiki gerak hingga apapun rintangan dapat dilalui. Bahkan, apapun yang dibuang ke sungai atau air tidak pernah ditanggapi dengan protes dan ngambek, mereka nerimo. Kelihatannya pasrah, tapi disitu ada kekuatan membawa apapun beban hingga ke muara. Dan muara sebuah bisnis adalah besar dan berhasilnya bisnis itu sendiri.

Dalam contoh cerita di atas, kalau kita berfokus pada kepasrahan maka habislah kesempatan ditelan keadaan. Bagaimana cara mencari gensetnya? Bagaimana mencari modalnya? Bagaimana operasionalnya? Bagaimana pemeliharaannya? Bahkan, bagaimana mengkaryakan genset bekas setelah proyek tidak berlanjut? Semuanya adalah rintangan yang merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah usaha. Asal kita luwes menghadapinya dan tidak berhenti belajar, maka muara selalu selangkah lebih dekat.

“Sekolah mendidik manusia untuk mengetahui sesuatu (to know), tapi masyarakat menempa manusia melakukan sesuatu (to do) sampai akhirnya manusia itu menjadi sesuatu (to be). Akibatnya, mereka sampai pada posisi memiliki sesuatu (to have).” (Bob Sadino – 2009)

Salam Sang Entrepreneur.

1 komentar

Tinggalkan komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *